CERPEN"ZuJi_VieN"

GERSANG TAK SELAMANYA GERSANG

Di suatu sore yang cerah, senja mulai menampakkan wajahnya. Burung-burung kembali ke sarangnya setelah sekian lama mencari makan untuk anak-anaknya. Tampaklah dua orang wanita muda memakai pakaian modern tengah kebingungan mencari sebuah rumah.
“Dimana alamatnya?” tanya wanita berbaju biru. “ Aku tidak tahu pasti, dari informasi yang aku dapat memang ini desanya, lebih baik kita tanya warga sekitar saja” usul wanita satunya.
“Permisi Bu, mau tanya kalau rumah kepala desa yang mana ya?” tanya wanita berbaju biru pemilik nama Zulmi itu. “Oh rumah Mbah Puji itu ada di seberang jalan sana” jawab ibu itu. “Terima kasih” lanjut Alfin.
Alfin dan Zulmi pergi ke rumah Mbah Puji selaku kepala desa Gersang Tani itu seperti yang ditunjukkan oleh ibu-ibu tersebut tanpa tahu bahwa manusia yang mereka tanya menyimpan rasa heran dan penuh ketidak kesukaan.
“Assalamu’alaikum, permisi” sapa Alfin disebuah rumah. “Wa’alaikumsalam Wr.Wb” jawab seorang gadis dari balik pintu. “Cari siapa ya Mbak?” tanya gadis kecil itu. “Apa benar ini rumah mbah puji, kepala desa di sini?. “Iya benar. Sebentar saya panggilkan si Mbah dulu, moggo silahkan masuk” mempersilahkan tamunya dan kembali ke dalam memanggil Mbahnya.
Dari balik tirai kusam muncullah seseorang kakek tua sedang tersenyum menatap para tamunya yang menandakan keramahan tuan rumah dan gurat kelelahan yang terlihat jelas di wajahnya.
“Selamat pagi pa!” sapa kedua wanita itu mengawali pembicaraan.
“Pagi ! ngamputen mbak-mbak niki saking pundi nggeh?” tanya Mbah Puji dengan ramah. Alfin dan Zulmi hanya termangu dan bingung dengan apa yang dikatakan orang paruh baya di depan mereka itu. Sejenah hening tak ada yang bicara, terlihat wajah mbah Puji yang juga bingung menunggu jawaban dari dua orang di depannya itu.
“Iki jane wong kok ditokok i gak ndang njawab!” gerutu mbah Puji dalam hati. Untuk memecah kesunyian Alfi yang masih ada darah Jawa langsung melancarkan permohonan. “Emm.... maaf mbah kami tidak mengerti Bahasa Jawa karena kami dari Jakarta, jadi mbah bisa tidak menggunakan Bahasa Indonesia ? “ ucap wanita muda itu dengan hati ketakutan kalau menyinggung hati Mbah Puji.
“ Oh tidak apa-apa, maksud saya tadi mbak-mbak ini dari mana dan ada perlu apa mecari saya ?”. Setelah mengerti maksud pertanyaan mbah Puji tersebut yang terdengar medhog, Zulmi langsung mejelaskan maksud kedatangn mereka berdua.
Setelah mendengar penjelasan Zulmi, mbah Puji menggaguk tanda mengerti. “Jadi kedatangan kalian kesini itu mau memperkenalkan dan mengembangkan proses pertanian dengan cara modern di kampung ini?” tanya mbah Puji meyakinkan dan Alfin mengangguk tanda membenarkan. “Tapi sayang, saya ragu kalau penduduk desa disini akan menerima dengan mudah. Sebab, tradisi dan budaya di kampung ini sudah sngat mendarah daging. Namun mbak-mbak ini jangan putus asa dulu, kan belum dicoba?”. Mereka bertiga tertawa bersama. “iya mbah. Tapi saya bingung selama kami disini mau tinggal dimana”.keluh Zulmi.
”Kalau mau, kalia boleh tinggal disini. Kebetulan saya disini Cuma sama cucu saya Lastri dan Hasan”. Tawar mbah Puji. “Baiklah, kalau tidak merepotkan si mbah”.
Setelah beberapa hari berada di desa itu usaha Alfin dan Zulmi belum mendapatkan hasil apapun. Meskipun mereka telah berusaha memperkenalkan cara bercocok tanam dengan metode baru. Alat-alat pertanian yang lebih modern tak satupun yang menarik minat ataupun mengubah keadaan di desa tersebut. Meskipun tiap kali diadakan praktik di balai desa, para warga berbondong-bondong menyaksikan namun hal itu mereka lakukan demi menghormati mbah Puji selaku kepala desa dan tetua desa yang telah memberikan intruksi.
Di suatu sore saat kedua pegawai sedang merapikan alat-alat peraga setelah selesai sosialisasi, mereka saling mengungangkap kecurigaan terhadap desa tersebut.
“ Eh Fin, kamu merasa ada yang aneh tidak?” Tanya Zulmi membuka percakapan
“Maksud kamu?” tanggap Alfin.
“Iya, padahal kita sudah mengadakan sosialisasi tentang metode pertanian modern di kampung ini selama satu bulan, tapi sepertinya tidak ada efek sama sekali” ungkap Zulmi.
“Iya..ya, mungkin saja warga desa masih bingung tentang metode ini, sebab selama ini mereka hanya mengenal cara tradisional saja” kemudian sahut Alfin.
“Untuk itu sudah menjadi tugas kita untuk menolong warga disini supaya tidak kalah saing dengan desa yang lebih maju” tutur Zulmi dengan wajah yang optimis.
“Okelah aku setuju, sudah lanjutkan beres-beresnya!” kata Alfin menutup pembicaraan.
Saat mereka melangkah keluar tak sengaja mereka mendengar percakapan antara pemudi Gesang Tani.
“ Sin, berani sekali mereka berdua ingin merubah dan mengganti adat desa kita?” kata seorang pemudi dengan tegas dan nada kebencian namun masih terdengar medhog khas suara orang desa.
“ Iya Tika, adat adalah adat yang tidak bisa dirubah kita harus melakukan sesuatu !” ujar pemudi yang satunya kepada pemudi yang bernama Tika, masih terdengar medhog pula. Dengan menggebu-gebu Tika pun menjawab ,“ Aku setuju Akhsin, kita harus menghasud warga agar menolak rencana mereka!”.
“ Baiklah Tik, aku setuju dengan usul mu, duh Gusti aku ndak bisa membayangkan jika mereka menerima rencana dua orang gila itu!” kata Akhsin dengan membayangkan apa yang akan terjadi.
“ Pasti Dewi Sri akan murka, beliau pasti tidak akan memberi panen yang baik tahun depan” sela Tika dengan raut muka yang menyedihkan.
Alfin dan Zulmi saling pandang, “ Jadi ini penyebabnya, kita harus melakukan sesuatu” sergah Alfin. “ Benar” tanggap Zulmi.Dan mereka meninggalkan halaman balai desa dengan fikiran masing-masing penuh dengan rencana.
Keesokan harinya, seluruh warga dikumpulkan di halaman balai desa.
“ Ibu-ibu bapak-bapak, maksud kami mengumpulkan anda semua di sini adalah bahwa kami mendengar kalau ada warga yang tidak suka pada metode modern yang kami bawa dan tetap ingin mempertahankan ketradisionalan di desa ini. Namun kita harus sadar bahwa kita hidup di zaman yang sudah modern dan demi kita tidak dilindas oleh kekerasan zaman, maka kita harus mengikuti perkembangannya. Untuk itu kami akan menawarkan suatu perjanjian dengan ibu-ibu dan bapak-bapak”. Para warga mulai antusias dan penasaran apa yang akan di bicarakan oleh dua orang kota yang berdiri di depan mereka yaitu Alfin dan Zulmi.
“ Begini ibu-ibu dan bapak-bapak, kami akan melakukan uji coba metode ini selama satu masa panen, kita akan membandingkan hasilnya setelah itu bapak-bapak dan ibu-ibu bisa memilih untuk menerima atau menolak metode yang diberikan oleh pemerintah ini” lanjut Alfin. Sekilas mulai terlihat para warga saling pandang untuk berdiskusi.
Setelah menunggu beberapa menit, “ Baiklah kalau begitu kami setuju” jawab salah satu warga mewakili warga desa tersebut. Ada raut kepuasan di wajah dua orang pegawai Departemen Pengembangan Pertanian Daerah Pelosok. Namun di lain tempat tak jauh dari halaman balai desa pemudi yang bernama Tika dan Akhsin semakin merasa tak suka dengan dua pendatang baru itu, tapi mereka tak dapat melakukan apa-apa lagi sebab warga telah menyetujui perjanjian itu.
Setelah terjadi kesepakatan itu, Alfin dan Zulmi beserta staf pengembangan pertanian yang lain berusaha menanam padi dengan alat dan metode yang mereka bawa. Setiap hari mereka bekerja keras agar mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan agar warga mau mengikuti jejak desa-desa lain yang pernah mereka kunjungi demi kemajuan desa ini.
Setelah hampir setengah tahun berlalu, akhirnya usaha mereka menampakkan hasil yang baik. Sehingga para warga yakin bahwa metode ini efektif dan sejak saat itu pula mereka mulai menerapkan metode yang diberikan Departeman Pengembangan Pertanian Daerah Pelosok di lahan pertanian mereka. Tak kunjung dalam empat tahun saja desa tersebut sudah menjadi desa penghasil padi paling bermutu dan terbesar di Indonesia. Dan kini desa itu tak segersang namanya, yaitu desa Gersang Tani.


0 Response to "CERPEN"ZuJi_VieN""

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme